Minggu, 20 Juli 2014

Memaknai Kearifan Lokal


Begitu banyak isu baik kebangsaan sampai kemasyarakatan yang mengangkat sebuah solusi kearifan local. Dimana semuanya berlomba-lomba menguak potensi yang ada didalam dari bangsa Indonesia baik dari hasil bumi sampai keanekaragaman budaya. Eufurio itu rupanya begitu banyak dilihat dimedia cetak, media lektronik bahkan disetiap lomba tulis menulis berlabel kearifan lokal.
Namun apa sejatinya kearifan local itu?
 Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dari penjelasan di atas, maka kearifan local merupakan “nilai-nilai“ yang harus selalu kita junjung dimanapun berada. Nilai entitas dan budayalah yang berharga  dan dijunjung dengan baik dalam menyikapi permalahan dimasyarakat. Karena Kedikdayaan suatu bangsa adalah disaat bangsa itu dapat memajukan "budaya dan tradisinya" dengan baik, dan Keterpurukan suatu bangsa adalah disaat bangsa itu selalu bangga mengikuti trend bangsa lain.
Sedikit kembali pada artikel “Cintailah bahasa ibu kita” bahwa itulah sekelumit fakta dimana anak negeri ini lebih bangga menjadi orang lain dari pada dirinya sendiri. Sehingga dalam penyelesaian problem yang ada dimasyarakat maupun dinegeri ini tidak menemukan solusi yang kongkrit terkadang malah seolah-olah menyelamatkan negeri namun sejatinya menghancurkan negeri ini.
Betapa bahwa nenek moyang bangsa ini telah mengajarkan kita tentang indahnya toleransi, indahnya saling gotong royong, indahnya saling memberi yang dewasa ini kita sudah jarang menjumpainya terutama dikota besar. Maka dari itu jika kita ingin tau wajah kekayaan budaya, tradisi, dan kesederhanaan berpikir orang Indonesia yang sebenarnya janganlah engkau melihat pola pikir kehidupan perkotaan namun lihatlah masyarakat pedesaan yang begitu damai nan indah. Seperti contoh: dulu sering kita jumpai didepan rumah masyarakat jawa itu terdapat “kendi” yang terbuat dari tanah liat yang berisi air dan itu biasanya untuk orang lain kebetulan lewat yang kehausan dimana orang tersebut bisa mengambil air minum tersebut untuk pelepas dahaga.
Maknanya adalah mungkin kita sering mendengarkan kata-kata orang jawa “hidup ini cuman mamper ngombe” dan nenek moyang kita mengingatkan lewat kendi dari tanah yang berisi air itu yaitu menjadi “tanah air” sehingga setiap kali minum kita diingatkan untuk hiduplah yang bermanfaat karena hidup ini hanyalah mampir minum dan kita disuruh unutk cinta tanah air. Namun saat ini semua itu sekarang dijumapai karena akahir-akhir ini pola pikir masyarakat pedesaan juga sudah mulai diracuni dengan pola pikir yang berlebihan, suka mengkritik,egoisme dsb.
Sehingga memang kita sudah seharusnya kembali hidup dengan berkepribadian dan mempunyai pola pikir seperti orang dulu yang benar-benar tau tentang filosofi hidup yang sesungguhnya. Karena dalam puisinya pak zawawi imron (penyair emas) mengatakan “maka nikmat Allah yang manakah yang engakau dustakan, kita lahir di Indonesia minum air Indonesia menjadi darah kita, kita makan beras dan buah-buahan Indonesia menjadi daging kita, kita bersujud diatas bumi Indonesia, bumi Indonesia adalah sajadah kita, dan bila sudah tiba saatnya kita mati, kita semua akan dipeluk olek pelukan bumi Indonesia.  
Sehingga, Jika engkau menemukan siapa dirimu maka kebangkitmu menjadi jelas masalahnya kalau engkau belum tau engkau ayam, engkau bangkit bukan dengan berkokok. dan klo engkau belumtau engkau anjing maka ketika engkau bangkit tidak dengan menggonggong. aku berharab engkau (bangsa indonesia) bangkit dengan cara dan budaya Indonesia.

Alkatsumi,  6 November 2012

Kamis, 17 Juli 2014

Renungan Lir-Ilir

Oleh : Emha Ainun Nadjib
(Renungan Lir- Lir. Mp3 : Download)
Bisakah luka yang teramat dalam ini nantinya akan sembuh, bisakah kekecewan dan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis, adakah kemungkinan kita merangkak naik kebumi dari jurang yang teramat curam dan dalam, akankah api akan berkobar-kobar lagi apakah asap akan membumbung tinggi dan memenuhi angkasa tanah air, akankah kita akan bertabrakan lagi jarah menjarah dengan pengorbanan yang tak terkirakan, adakah kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani, bersediakah sebenarnya kita untuk tau persis apa yang sesungguhnya kita cari, cakrawala manakah yang menjadi tujuan sebenarnya langkah-langkah kita, pernahkah kita bertanya bagaimana melangkah yang , pernakah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali perlu kita sesali dari prilaku-prilaku kita yang kemarin, bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian dibalik kebanggaan-kebanggaan, masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata pada diri kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan ia tetapi juga kita masih tersediakah peluang didalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri mencari hal-hal yang benar-benar kita butuhkan supaya sakit…sakit..sakit kita ini benar benar sembuh total, sekurang-kurang dengan perasaan santai kepada diri kita sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan bukanlah yang berada diluar tubuh kita tetapi didalam diri kita, yang perlu utama kita lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini harus betul-betul disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang berlaku didalam hati dan akal pikiran kita. Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia Lir ILir……(Lir iLir….Lir iLir….Tandure woh sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar……)
Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu telah Ia lantunkan dan tak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham, padahal kata-kata beliau mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa….beta..alif…ba….’ ta’….kebingungan sejarah kita dari hari-kehari, sejarah tentang sebuah negri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi “menggeliatlah dari matimu!!! tutur sang Sunan…” Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidurmu sungguh negri ini adalah penggalan Surga!! Surga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraanapa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra.
Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini, kita telah memboroskan anugerah tuhan ini dengan bercocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan. (cah angon….cah angon penekno blimbing kuwi…..lunyu-lunyu penekno..kanggo mbasuh dhodot iro…) kanjeng sunan tidak memilih figure misalnya (Pak Jendral…Pak Jendral,,,,) juga bukan intelektual, Ulama-ulama’, seniman, sastrawan atau apapun, tetapi cah angon, beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwi bukan (Penekno pelem kuwi….)bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah yang lain, tapi belimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu tentang lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu…lunyu penekno…agar belimbing bisa kita capai bersama dan yang harus memanjat adalah cah angon anak gembala, tentu saja dia boleh seorang doctor, kyai, ulama, seniman, sastrawan atau siapapun, namun dia harus memiliki daya angon daya menggembalakan kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesame saudara sebangsa, determinasi yang menciptakan garis besutan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan, semua kecendrungan, bocah angon adalah pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu grombolan.
Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing gigir lima itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah yang menjadikan manusia bukan binatang kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan harkatmu sebagai manusia.
Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia, pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan system nilai. System nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima! Satu syair tidak bisa diselesaikan ditafsirkan dengan seribu jilid buku, satu tembang syair tidak selesai ditafsirkan dengan waktu dan seribu orang. Kami ingin mengajakmu untuk berkeliling untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita.