Kamis, 21 Agustus 2014

Pidato KH As'ad Syamsul Arifin : "Sejarah NU"



Teks Translit Pidato KH As'ad Syamsul Arifin

Teks Translit Pidato
KH As'ad Sayamsul Arifin[1]


(KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH Hasyim Asyari mendirikan Jamiyah Ulama [akhirnya bernama Nahdlatul Ulama]. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya)

Assalamualaikum Wr. Wb
Yang akan saya sampaikan pada anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada anda semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU? tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. kalau saya tidak.  Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini. Umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, Ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam menurut orang sekarang Islam Ahlisunah wal jamaah, syariat Islam dari Rasulullah saw yang beraliran salah satu empat madzhab. Khususnya Madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia. Madzhab-madzhab yang lain juga ada. ini termasuk Islam Ahlisunnah wal jamaah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlisunnah wal jamaah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia. Masing-masing ulama melaporkan: "Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadlratusy Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya". Kyai Muntaha berkata: "Apa keperluannya?". Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya Quran dan Hadis saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. tolong disampaikan pada Kyai Kholil." Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: "Nasib, Kesini! Bilang kepada Muntaha, di Quran sudah ada, sudah cukup:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾
"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai" (at-Taubat: 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendaknya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha".
Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. "Saya puas sekarang" kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Aba saya (KH Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini, seperti apa, seperti apa… Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir, para kyai berkata… Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan. Sampai tahun 1923, kata kyai satu: "Mendirikan Jamiyah (organisasi)", kata yang lain: "Syarikat Islam ini saja diperkuat". Kata yang lain: "Organisasi yang sudah ada saja". Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini… Kemudian ada satu ulama yang matur sama kyai: "Kyai saya menemukan satu sejarah tulisan sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini… (Kyai As'ad berkata: Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja)… : "Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): "Islam Ahlisunnah wal Jamaah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Bawa ke Indonesia". Jadi di Arab sudah tidak mampu  melaksanakan syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugas melakukan wasiat ini. Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugas ke Madinah.
Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang megang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insyaallah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan. Tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: "As'ad, kesini kamu!" Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). Arrahman Arrahim… Kyai marah: "Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!". "Tidak saya sengaja Kyai. Saya ini pelat." Kyai kemudian keluar… (Kyai Kholil melakukan sesuatu)… Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: "Mana yang cadal itu? Sudah sembuh cadalnya?". "Sudah Kyai". "Kesini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?". "Tahu". "Kok tahu? Pernah mondok disana?". "Tidak. Pernah sowan". "Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan". "Ya, kyai". "Kamu punya uang?". "Tidak punya, kyai". "Ini". Saya diberikan uang ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: "Kesini kamu! Ada ongkosnya?". "Ada, kyai". "Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?". Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan.Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: "Ini (tongkat) kasihkan ya… (Kyai Kholil membaca surat Thaha: 17-21)…
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula"
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel "Orang ini gila. Muda pegang tongkat". Ada yang lain bilang: "Ini wali". Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila. Ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu. Saya hanya disuruh kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu. Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih  muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua. yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan. Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): "Siapa ini?". "Saya, Kyai". "Anak mana?". "Dari Madura, Kyai". "Siapa namanya?". "As'ad". "Anaknya siapa?". "Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin". "Anaknya Maimunah kamu?". "Ya, Kyai". "Keponakanku kamu, Nak". "Ada apa?". "Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat". "Tongkat apa?" "Ini, Kyai". "Sebentar, sebentar…"
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). "Bagaimana ceritanya?" Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat….
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula"
"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya"
Inilah rencana mendirikan Jamiyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jamiyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang. "Mau pulang kamu?". "Ya, Kyai". "Cukup uang sakunya?" "Cukup, Kyai" "Saya cukup didoakan saj, Kyai". "Ya, mari… Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jamiyah Ulama akan diteruskan". Inilah asalnya Jamiyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil. "As'ad, kesini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?" "Tidak, Kyai". "Hasyim Asy'ari?" "Ya, Kyai" "Dimana rumahnya". "Tebuireng". "Darimana asalnya?" "Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asyari Keras". "Ya, benar. Dimana Keras?". "Di baratnya Seblak". "Ya, kok tahu kamu?" "Ya, Kyai". "Ini tasbih hantarkan" "Ya, Kyai". Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar. "Kesini, makan dulu!" "Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan". "Darimana kamu dapat?" "Saya beli di jalan, Kyai" "Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?" "Ya, Kyai". Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: "Cukup itu?" "Cukup, Kyai" "Tidak!" Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi.   
Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar". Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir …
"Ini" Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. "Kok leher?" "Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh". "Ya, kalau begitu". Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu. "Ini orang yang megang tongkat itu?" "Wah.. Hadza majnun". Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya. Ada yang narik "karcis! karcis!" Saya tidak ditanya. Saya piker ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin. Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai tanya: "Apa itu?" "Saya mengantarkan tasbih" "MasyaAllah, MasyaAllah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?" "Ini, Kyai" (dengan menjulurkan leher). "Lho?" "Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik anda". Kemudian diambil oleh Kyai. "Apa kata Kyai?". "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar". "Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur". Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jamiyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada gubernur jenderal.
Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan…


[1][1]  File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jumat, 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan oleh Moh. Ma'ruf Khozin

Pancasila: "Masih Pantaskah Aku?"

Bismillahirrohmaanirrohim.

Begitu banyak kecaman dan hinaan yang ditujukan kepada Pancasila, seakan tak ada hentinya dari kelompok-kelompok yang menginginkan sebuah perubahan di Indonesia. Kecaman dan hinaan yang menganggap bahwa Pancasila sudah tidak cocok dan kurang relevan lagi untuk digunakan sebagai pegangan bangsa indonesia sehingga mungkin membuat Pancasila gelisah dan bertanya "Masih Pantaskah Aku?".

Momen hari kemerdekaan yang jatuh bulan ramadhan ini, patut kiranya untuk kita renungkan kembali bagaimana makna Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika secara penuh tanpa ada kepentingan dan pengingkaran terhadap sebuah kebenaran.

Suatu ketika kita akan bertanya, kenapa Pancasila bukan Khilafah atau yang lain?
pertanyaan itulah barang kali yang diajukan sekelompok orang yang ragu bahkan sebuah kelompok muslim menganggap bahwa sebagai komunitas muslim terbesar didunia seharusnya menjadi "Negara Islam (Khilafah)" dan benarkah para founding father kita tak memperhatikan masalah itu atau mungkin memang kita menutup mata bagaimana asal mula negara ini diperjuangkan dan didirikan.

Saudaraku sebangsa dan setanah air, ingatkah kita dengan BPUPKI yang bertugas untuk merumuskan dasar negara. Dimana saat persidangan itu belum ada titik temu diantara kalangan islam modernis, nasional dan pesantren tradisional maka dibentuklah dipanitiai oleh 9 orang yang disebut panitia sembilan. Di tengan perdebatan itu, K.H. Wahid Hasyim mencoba untuk menengahi dan mengemukakan kandungan dan perjajian "Piagam Madinah" yang terdiri dari 47 Pasal sehingga suasana sidangpun berlahan mulai menemui titik temu dengan pengambilan lima butir dari 47 pasal Piagam Madinah tersebut dan semua sepakat hasil rapat tersbut dinamakan "Piagam Jakarta"

Lantas kenapa Piagam Madinah sebagai rujukan?
Sejarah mengemukakan bahwa saat K.H Wahid Hasyim sebelum berangkat untuk hadir dalam sidang BPUPKI beliau bertanya kepada K.H Hasyim Asy'ari tentang dasar negara Indonesia yang khawatir dalam sidang tersebut akan muncul benih-benih perpecahan. maka K.H Hasyim Asy'ari memberikan saran dalam menyelesaikan masalah tersebut kita harus mencontoh Nabi Muhammad SAW sembari membuka lembaran demi lembaran buku karangan Ibnu Ishaq tentang "Sirah an-Nabi" (kisah perjalanan Nabi Muhammad) dan pada halaman 119-123 lah tertuju yaitu tentang shohifah madinah yang lebih dikenal Piagam Madinah.
K.H Hasyim Asy'ari yang memang saat itu adalah sosok yang paling berpengaruh dan kharismatik dalam memperjuangkan kemerdekaan bukan hanya sekedar untuk Islam atau NU tapi beliau lebih mengutamakan bangsa Indonesia.
Piagam madinah itu pula membahas Hak Asasi Manusia, Persatuan Seagama, Persatuan segenap warga negara dan hak kewajiban golongan minoritas serta isi dan kandungan piagam madinah sangat relevan dengan situasi bangsa Indonesia dengan keanekaragaman agama dan budaya.

Pengambilan keputusan pancasila sebagai dasar ini pula sudah dibaca dan sudah melalui perenungan yang panjang oleh patih gajah mada dalam kurun waktu yang lama dengan semboyannya "Bhineka Tunggal Ika" (Berbeda-beda namun tetap satu jua).
Ini membuktikan keorisinalitas dalam merenungi dan bertindak oleh para founding father bangsa ini dalam membangun negera kesatuan Indonesia raya guna menciptakan bangsa yang besar dan mertabat untuk para penerusnya tentunya dengan  penuh ketulusan dan pengorbanan sampai titik darah penghabisan.

Sehingga patut kiranya kita mempertanyakan kembali...
Apakah Pancasila yang harus diganti ataukah akhlak dan mental (pola pikir) kita yang harus diganti dalam menyelesaikan permasalahan bangsa ini?

Sebagai penutup dan melalui momen yang penting ini, mari kita bersama-sama untuk menjunjung tinggi sikap toleransi dan bersama-sama memecahkan persoalan bangsa ini tanpa saling menyalahkan dan mudah diadu domba antar putra-putri terbaik Indonesia. Jayalah Bangsaku, Bangsa Indonesia. 

Reference:
- Buku Penakluk Badai
- Sejarah dan Naskah Piagam Madinah.

* Alkatsumi

"Rindu"


Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan kedua orang tuaku
Bukakanlah pintu rahmat dan hidayah bagi kami
Tuk menuju ridho-Mu Ya Allah
Ya Robb...
Gerakkanlah badan ini... Jiwa ini... Hati ini.... & Pikiran ini....
Yang sementara ini lumpuh tak berdaya...
Tak berdaya menunaikan ibadah-Mu... perintah-Mu....
Dan Tak berdaya mencari ilmu-Mu yang luas ini...
Ya Robb...
Yang Maha Pengampun, Yang Maha Penguasa alam Semesta, Yang Maha Pencipta...
Aku tak inginkan apapun, baik prestasi, IPK, dunia ataupun harta...
Ya Robb....
Sekarang yang aku inginkan hanya KEKAYAAN HATI untuk selalu dalam kehadirat-Mu....
Hati yang rindu dalam Jalan-Mu... Rindho-Mu... Perintah-Mu....
Bimbinglah hati ini, Ya Allah sebenar-benarnya Pembimbing...
Sinarilah hati ini, Wahai Sang Pemilik Sinar Ilaihiyah....
Siramilah hati yang sudah mulai mengeras ini, wahai pemilik penyejuk jiwa...
أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا * أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَا
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا * وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا
ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ * يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ * يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ

Kesebelasan Gusdur

Gur Dur merupakan orang yang memiliki kegemaran sekaligus pengamat sepak bola yang handal. ia tentu tau apa yang dikatakan Sepp Herberger, pelatih legendaris yang berhasil membawa Jerman menjadi juara dunia 1954.
Herberger merumuskan filsafat bolanya demikian:
Keberhasilan dalam sepak bola ditentukan oleh tiga hal, yakni sepertiga kebisaan, sepertiga perkawanan, dan sepertiga keberuntungan. 
Kebisaan
Kebisaan itu dapat dilatih terus dengan training didalam lapangan untuk memunculkan potensi dan kemampuan dimana setiap pemain memilikinya. ada hal yang menarik saya pernah membaca sebuah buku tentang filosofi orang jepang dalam merekrut sebuah pegawai, yakni "mereka lebih mengutamakan orang yang belum bisa namun memiliki semangat juang yang tinggi untuk belajar dari pada orang yang punya kemampuan namun memiliki etos kerja dan minat belajar yang rendah". Hal ini kenapa diterapkan, hemat saya mungkin karena dengan orang yang merasa bisa maka mudah untuk puas dan lebih cenderung menyalahkan orang lain sehingga peluang untuk berkembang kecil. namun sebaliknya orang yang memiliki minat belajar yang tinggi maka tidak mudah puas dan akan selalu memperbaiki kinerjanya maupun setiap kesalahan yang terjadi. dalam akun twitter mbak Yenny Wahid (putri kedua Gus Dur) mengemukakan sukses = 1% bakat dan 99 % keringat.
Mengambil dari ceramah Gus Mus, kita jangan pernah berhenti belajar dan jangan pernah merasa diri kita hebat. Sehingga memang kita bisa memberikan sebuah kata kunci yakni : "Selalu belajar (mencari ilmu) untuk meningkat potensi dan kemampuan yang ada".
Perkawananan
Perkawanan menjadi hal yang sangat penting dalam sepak bola maupun dalam setiap aktivitas yang memerlukan kerja sama. perkawanan dibina diluar lapangan. Disini pelatih harus bisa mengumpulkan pemain-pemain yang siap untuk mengorbankan diri bagi cita-cita yang sedang digeluti dan bagi kawan-kawannya sendiri bukan mengorbankan orang lain untuk mencapai cita-cita kita.
dan lagi-lagi saya mengambil fakta dari orang jepang, 1 orang jepang dapat dikalahkan oleh 1 orang Amerika, namun 3 orang Jepang tidak dapat dikalahkan oleh 3 orang Amerika. kalau orang jawa biasanya bilang gotong royong. sebenarnya kita sudah diwarisi kekaya'an intelektual dan pola pikir oleh nenek moyang kita dengan budaya toleransinya lewat peribahasa "Ringan sama dijinjing, Berat sama dipikul".
Keberuntungan
Keberuntungan tercipta tidak dengan tiba-tiba melainkan dengan kerja keras dalam hal ini kebisaan (kemampuan) yang tinggi dan perkawanan yang kuat sebagai dasar terciptanya hasil yang maksimal. 
Gus Dur kiranya boleh mengambil alih rumus keberhasilan Herberger itu bagi "kesebelasa yang dipersiapkannya. untuk pembentukan kabinetnya, ia harus mencari orang yang betul-betul bisa, sesuai dengan bidangnya. Jangan lagi mengulang kesalahan lama, yang memasang menteri bukan karena kebisaannya, tetapi karena relasi, status , dan penjatahan kursi.
Namun, kebisaan itu baru menentukan sepertiga bagian saja dari seluruh komponen keberhasilan. kebisaan itu takkan membuahkan hasil maksimal, tanpa desertai perkawanan dan kedekatan diantara orang-orang yang hendak dpilih Gus Dur. Tanmpa perkawanan yang mau saling membantu dan berkorban itu, "kesebelasan" Gus Dur akan dilanda ketidakkompakkan dan mudah tercerai berai. Disini Gusdur dituntut  untuk menjadi manajer yang tegas. siapa tidak mau berkorban demi cita-cita yang sudah ditentukan, ya lebih baik tidak dipilih, kendati "merasa" bisa.
Sebagai "pelatih", Gus Dur tidak perlu ahu dan ahli dalam segala-galanya. Para "pemain"lah yang harus mengetahuinya. Tugas Gus Dur adalah seperti apa yang dibuat Matt Busby, pelatih legendaris Manchester Unitid, yakni menciptakan a home, a human place bagi para "pemainnya". dirumah manusiawi itulah, para pembantu-pembantu Gus Dur  dapat selalu menimba tamabahan  inspirasi bagi tugas dan kewajibannya. Dengan sifatnya yang hangat, informal, penuh humor dan sederahana, kiranya Gus Dur bisa menampilkan kepemimpinannya dengan nilai tersebut.
itu semuanya baru pertiga. sepertiga lainnya adalah keberuntungan. Sikap menerima keberuntungan ini bukan sikap fatalis yang melemahkan perjuangan, tetapi suatu sikap keterbukaan, yang percaya bahwa akan ada banyak hal terjadi diluar yang direncanakan. sika p itu juga suatu kerendahan hati : manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. dengan sikap ini, para "pemain Gus Dur" tidak memutlakkan keberhasilan atau meratapi kegagalan, tetapi akan bermain dan bermain terus seindah-indahnya. Baru dengan demikian rakyat bisa melihat, bahwa "kesebelasan Gus Dur" itu tulus dan jujur.
Akhirnya, semoga Presiden Gus Dur mendengar permohonan ini: Gus Dur, ingatlah, rakyat Indonesia ini adalah pecinta sepak bola. sampean tentu ingat, dengan keberhasilannya di Piala Dunia 1954 Sepp Herberger tealh memberi kembali kebanggaan pada rakyat Jerman yang sebelumnya hancur, sampai meraka bisa mengatakan, Wir sind wieder wer (kami kemabal menajdi siapa). Kami, Rakyat Indonesia masih didera krisis yang membuat kami kehilangan identitas kami. maka permintaan kami pada Sampean : Gus, Bentuklah "Kesebelasan" yang bisa memberi lagi kebanggaan, hingga kami bisa bilang, kami kembali menjadi siapa, setelah lam kami malu karena kami bukan siapa-siapa.
Disadur dari Buku berjudul "Gus Dur Santri Par Excellence Teladan Sang Guru Bangsa", oleh Sindhunata (kompas, 23 Oktober 1999) dengan sedikit penambahan.

~( adli )~

Minggu, 20 Juli 2014

Memaknai Kearifan Lokal


Begitu banyak isu baik kebangsaan sampai kemasyarakatan yang mengangkat sebuah solusi kearifan local. Dimana semuanya berlomba-lomba menguak potensi yang ada didalam dari bangsa Indonesia baik dari hasil bumi sampai keanekaragaman budaya. Eufurio itu rupanya begitu banyak dilihat dimedia cetak, media lektronik bahkan disetiap lomba tulis menulis berlabel kearifan lokal.
Namun apa sejatinya kearifan local itu?
 Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dari penjelasan di atas, maka kearifan local merupakan “nilai-nilai“ yang harus selalu kita junjung dimanapun berada. Nilai entitas dan budayalah yang berharga  dan dijunjung dengan baik dalam menyikapi permalahan dimasyarakat. Karena Kedikdayaan suatu bangsa adalah disaat bangsa itu dapat memajukan "budaya dan tradisinya" dengan baik, dan Keterpurukan suatu bangsa adalah disaat bangsa itu selalu bangga mengikuti trend bangsa lain.
Sedikit kembali pada artikel “Cintailah bahasa ibu kita” bahwa itulah sekelumit fakta dimana anak negeri ini lebih bangga menjadi orang lain dari pada dirinya sendiri. Sehingga dalam penyelesaian problem yang ada dimasyarakat maupun dinegeri ini tidak menemukan solusi yang kongkrit terkadang malah seolah-olah menyelamatkan negeri namun sejatinya menghancurkan negeri ini.
Betapa bahwa nenek moyang bangsa ini telah mengajarkan kita tentang indahnya toleransi, indahnya saling gotong royong, indahnya saling memberi yang dewasa ini kita sudah jarang menjumpainya terutama dikota besar. Maka dari itu jika kita ingin tau wajah kekayaan budaya, tradisi, dan kesederhanaan berpikir orang Indonesia yang sebenarnya janganlah engkau melihat pola pikir kehidupan perkotaan namun lihatlah masyarakat pedesaan yang begitu damai nan indah. Seperti contoh: dulu sering kita jumpai didepan rumah masyarakat jawa itu terdapat “kendi” yang terbuat dari tanah liat yang berisi air dan itu biasanya untuk orang lain kebetulan lewat yang kehausan dimana orang tersebut bisa mengambil air minum tersebut untuk pelepas dahaga.
Maknanya adalah mungkin kita sering mendengarkan kata-kata orang jawa “hidup ini cuman mamper ngombe” dan nenek moyang kita mengingatkan lewat kendi dari tanah yang berisi air itu yaitu menjadi “tanah air” sehingga setiap kali minum kita diingatkan untuk hiduplah yang bermanfaat karena hidup ini hanyalah mampir minum dan kita disuruh unutk cinta tanah air. Namun saat ini semua itu sekarang dijumapai karena akahir-akhir ini pola pikir masyarakat pedesaan juga sudah mulai diracuni dengan pola pikir yang berlebihan, suka mengkritik,egoisme dsb.
Sehingga memang kita sudah seharusnya kembali hidup dengan berkepribadian dan mempunyai pola pikir seperti orang dulu yang benar-benar tau tentang filosofi hidup yang sesungguhnya. Karena dalam puisinya pak zawawi imron (penyair emas) mengatakan “maka nikmat Allah yang manakah yang engakau dustakan, kita lahir di Indonesia minum air Indonesia menjadi darah kita, kita makan beras dan buah-buahan Indonesia menjadi daging kita, kita bersujud diatas bumi Indonesia, bumi Indonesia adalah sajadah kita, dan bila sudah tiba saatnya kita mati, kita semua akan dipeluk olek pelukan bumi Indonesia.  
Sehingga, Jika engkau menemukan siapa dirimu maka kebangkitmu menjadi jelas masalahnya kalau engkau belum tau engkau ayam, engkau bangkit bukan dengan berkokok. dan klo engkau belumtau engkau anjing maka ketika engkau bangkit tidak dengan menggonggong. aku berharab engkau (bangsa indonesia) bangkit dengan cara dan budaya Indonesia.

Alkatsumi,  6 November 2012

Kamis, 17 Juli 2014

Renungan Lir-Ilir

Oleh : Emha Ainun Nadjib
(Renungan Lir- Lir. Mp3 : Download)
Bisakah luka yang teramat dalam ini nantinya akan sembuh, bisakah kekecewan dan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis, adakah kemungkinan kita merangkak naik kebumi dari jurang yang teramat curam dan dalam, akankah api akan berkobar-kobar lagi apakah asap akan membumbung tinggi dan memenuhi angkasa tanah air, akankah kita akan bertabrakan lagi jarah menjarah dengan pengorbanan yang tak terkirakan, adakah kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani, bersediakah sebenarnya kita untuk tau persis apa yang sesungguhnya kita cari, cakrawala manakah yang menjadi tujuan sebenarnya langkah-langkah kita, pernahkah kita bertanya bagaimana melangkah yang , pernakah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali perlu kita sesali dari prilaku-prilaku kita yang kemarin, bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian dibalik kebanggaan-kebanggaan, masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata pada diri kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan ia tetapi juga kita masih tersediakah peluang didalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri mencari hal-hal yang benar-benar kita butuhkan supaya sakit…sakit..sakit kita ini benar benar sembuh total, sekurang-kurang dengan perasaan santai kepada diri kita sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan bukanlah yang berada diluar tubuh kita tetapi didalam diri kita, yang perlu utama kita lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini harus betul-betul disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang berlaku didalam hati dan akal pikiran kita. Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia Lir ILir……(Lir iLir….Lir iLir….Tandure woh sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar……)
Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu telah Ia lantunkan dan tak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham, padahal kata-kata beliau mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa….beta..alif…ba….’ ta’….kebingungan sejarah kita dari hari-kehari, sejarah tentang sebuah negri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi “menggeliatlah dari matimu!!! tutur sang Sunan…” Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidurmu sungguh negri ini adalah penggalan Surga!! Surga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraanapa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra.
Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini, kita telah memboroskan anugerah tuhan ini dengan bercocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan. (cah angon….cah angon penekno blimbing kuwi…..lunyu-lunyu penekno..kanggo mbasuh dhodot iro…) kanjeng sunan tidak memilih figure misalnya (Pak Jendral…Pak Jendral,,,,) juga bukan intelektual, Ulama-ulama’, seniman, sastrawan atau apapun, tetapi cah angon, beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwi bukan (Penekno pelem kuwi….)bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah yang lain, tapi belimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu tentang lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu…lunyu penekno…agar belimbing bisa kita capai bersama dan yang harus memanjat adalah cah angon anak gembala, tentu saja dia boleh seorang doctor, kyai, ulama, seniman, sastrawan atau siapapun, namun dia harus memiliki daya angon daya menggembalakan kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesame saudara sebangsa, determinasi yang menciptakan garis besutan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan, semua kecendrungan, bocah angon adalah pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu grombolan.
Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing gigir lima itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah yang menjadikan manusia bukan binatang kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan harkatmu sebagai manusia.
Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia, pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan system nilai. System nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima! Satu syair tidak bisa diselesaikan ditafsirkan dengan seribu jilid buku, satu tembang syair tidak selesai ditafsirkan dengan waktu dan seribu orang. Kami ingin mengajakmu untuk berkeliling untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita.