Teks
Translit Pidato KH As'ad Syamsul Arifin
Teks
Translit Pidato
KH
As'ad Sayamsul Arifin[1]
(KH As’ad Syamsul Arifin adalah
pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH
Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH Hasyim Asyari mendirikan Jamiyah
Ulama [akhirnya bernama Nahdlatul Ulama]. Pidato ini awalnya berbahasa Madura
dan berikut adalah translit selengkapnya)
Assalamualaikum Wr. Wb
Yang akan saya sampaikan pada anda
tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada anda
semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau suka saya
mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga
NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa
ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama.
Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau
bercerita kepada anda mengapa ada NU? tentunya muballigh-muballigh yang lain
menceritakan isinya kitab. kalau saya tidak.
Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa
sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, pengurus Cabang, MWC,
Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini. Umat Islam di Indonesia ini
mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya',
pelopor-pelopor Rasulullah Saw ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat
Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, Ulama, para
auliya', para pelopor Rasulullah Saw masuk ke Indonesia pertama kali yang
dibawa adalah Islam menurut orang sekarang Islam Ahlisunah wal jamaah, syariat
Islam dari Rasulullah saw yang beraliran salah satu empat madzhab. Khususnya
Madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia. Madzhab-madzhab yang
lain juga ada. ini termasuk Islam Ahlisunnah wal jamaah. Termasuk yang dibawa
Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel,
termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah
ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam
Ahlisunnah wal jamaah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada
di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai
Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh
Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah
sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia. Masing-masing ulama melaporkan:
"Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak
berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadlratusy
Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya".
Kyai Muntaha berkata: "Apa keperluannya?". Begini, sekarang ini mulai
ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang
dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya Quran dan Hadis saja. Yang
lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena
ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui
kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. tolong disampaikan pada Kyai
Kholil." Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada
di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: "Nasib, Kesini! Bilang
kepada Muntaha, di Quran sudah ada, sudah cukup:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ
اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ
كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾
"Mereka berkehendak memadamkan
cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak
menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir
tidak menyukai" (at-Taubat: 32)
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh
Allah Ta'ala, maka kehendaknya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya
kepada Muntaha".
Jadi para tamu belum sowan sudah
dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab
keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman.
"Saya puas sekarang" kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah
dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di
Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46,
bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Aba saya (KH Syamsul
Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong,
membahas masalah ini, seperti apa, seperti apa… Dari Barat Kyai Asnawi Qudus,
Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir, para kyai berkata… Tidak ada jadinya,
tidak ada kesimpulan. Sampai tahun 1923, kata kyai satu: "Mendirikan
Jamiyah (organisasi)", kata yang lain: "Syarikat Islam ini saja
diperkuat". Kata yang lain: "Organisasi yang sudah ada saja".
Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah
tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke
nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak
semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini… Kemudian ada satu ulama
yang matur sama kyai: "Kyai saya menemukan satu sejarah tulisan sunan
Ampel. Beliau menulis seperti ini… (Kyai As'ad berkata: Kalau tidak salah ini
kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja)… :
"Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di
Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada
saya (Raden Rahmat): "Islam Ahlisunnah wal Jamaah ini bawa hijrah ke
Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan
Syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Bawa ke Indonesia". Jadi di Arab
sudah tidak mampu melaksanakan syariat
Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah
Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugas melakukan
wasiat ini. Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini
melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke
sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugas ke
Madinah.
Akhirnya, tahun 1923 semua
berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang
megang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insyaallah ada laporan lengkapnya. Dulu
saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan.
Tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita
orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: "As'ad, kesini kamu!"
Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak
bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). Arrahman Arrahim… Kyai
marah: "Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa
tidak?!". "Tidak saya sengaja Kyai. Saya ini pelat." Kyai
kemudian keluar… (Kyai Kholil melakukan sesuatu)… Kemudian esok harinya pelat
saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi:
"Mana yang cadal itu? Sudah sembuh cadalnya?". "Sudah
Kyai". "Kesini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu
rumahnya?". "Tahu". "Kok tahu? Pernah mondok disana?".
"Tidak. Pernah sowan". "Tongkat ini antarkan, berikan pada
Hasyim. Ini tongkat kasihkan". "Ya, kyai". "Kamu punya
uang?". "Tidak punya, kyai". "Ini". Saya diberikan
uang ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya
pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah).
Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini
buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau
berangkat, saya dipanggil lagi: "Kesini kamu! Ada ongkosnya?".
"Ada, kyai". "Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan
suka merokok?". Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya
sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan.Masih ada sampai sekarang.
Kyai keluar: "Ini (tongkat) kasihkan ya… (Kyai Kholil membaca surat Thaha:
17-21)…
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى
﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي
وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا
فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا
سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
"Apakah itu yang di tangan
kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku berpegangan
padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi
keperluan yang lain padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai
Musa!" Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi
seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan
jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula"
Karena saya ini namanya masih muda.
Masih gagah. Sekarang saja sudah sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat
terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel "Orang ini gila. Muda pegang
tongkat". Ada yang lain bilang: "Ini wali". Wah macam-macam
perkataan orang. Ada yang bilang gila. Ada yang bilang wali. Saya tidak mau
tahu. Saya hanya disuruh kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.
Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang
tidak bisa diikuti. Rusak semua. yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga
keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya
terus jalan. Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): "Siapa ini?".
"Saya, Kyai". "Anak mana?". "Dari Madura, Kyai".
"Siapa namanya?". "As'ad". "Anaknya siapa?".
"Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin". "Anaknya Maimunah
kamu?". "Ya, Kyai". "Keponakanku kamu, Nak". "Ada
apa?". "Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar
tongkat". "Tongkat apa?" "Ini, Kyai". "Sebentar,
sebentar…"
Ini orang yang sadar. Kyai ini
pintar. Sadar, hadziq (cerdas). "Bagaimana ceritanya?" Tongkat ini
tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya
menyampaikan ayat….
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى
﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي
وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا
فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا
سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
"Apakah itu yang di tangan
kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku berpegangan
padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi
keperluan yang lain padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai
Musa!" Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi
seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan
jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula"
"Alhamdulillah,
Nak. Saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat
ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya"
Inilah rencana mendirikan Jamiyah
Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar
kabar berdirinya Jamiyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang.
"Mau pulang kamu?". "Ya, Kyai". "Cukup uang
sakunya?" "Cukup, Kyai" "Saya cukup didoakan saj,
Kyai". "Ya, mari… Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk
mendirikan Jamiyah Ulama akan diteruskan". Inilah asalnya Jamiyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil
lagi oleh Kyai Kholil. "As'ad, kesini! Kamu tidak lupa rumahnya
Hasyim?" "Tidak, Kyai". "Hasyim Asy'ari?" "Ya,
Kyai" "Dimana rumahnya". "Tebuireng". "Darimana
asalnya?" "Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asyari Keras".
"Ya, benar. Dimana Keras?". "Di baratnya Seblak". "Ya,
kok tahu kamu?" "Ya, Kyai". "Ini tasbih hantarkan"
"Ya, Kyai". Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan.
Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya
ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari
Langgar. "Kesini, makan dulu!" "Tidak, Kyai. Sudah minum wedang
dan jajan". "Darimana kamu dapat?" "Saya beli di jalan,
Kyai" "Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok
makan di jalan?" "Ya, Kyai". Saya makan di jalan dimarahami.
Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: "Cukup itu?"
"Cukup, Kyai" "Tidak!" Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi
1 Ringgit. Saya simpan lagi.
Kemudian tasbih itu dipegang
ujungnya: "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya
Qahhar". Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran
tasbih. Saya disuruh dzikir …
"Ini" Disuruh ambil. Saya
tengadahkan leher saya. "Kok leher?" "Ya, Kyai. Tolong
diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh". "Ya, kalau
begitu". Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya
berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu. "Ini orang
yang megang tongkat itu?" "Wah.. Hadza majnun". Ada yang bilang
"wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara
kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak
merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana
kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya
tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya. Ada yang
narik "karcis! karcis!" Saya tidak ditanya. Saya piker ini karena
tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama
perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak
melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah.
Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin. Saya lalu sampai di
Tebuireng, Kyai tanya: "Apa itu?" "Saya mengantarkan
tasbih" "MasyaAllah, MasyaAllah. Saya diperhatikan betul oleh guru
saya. Mana tasbihnya?" "Ini, Kyai" (dengan menjulurkan leher).
"Lho?" "Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher
saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak
sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk anda. Saya tidak akan berbuat
apa-apa terhadap barang milik anda". Kemudian diambil oleh Kyai. "Apa
kata Kyai?". "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar,
Ya Qahhar". "Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani
pada ulama akan hancur". Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat
tanggal 29 Ramadhan. banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan
Rajab diresmikan Jamiyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun.
Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran
dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada gubernur jenderal.
Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan…
[1][1]
File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid,
MAg. pada Jumat, 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan
oleh Moh. Ma'ruf Khozin